Sebuah Catatan Tentang
Perempuan
Oleh : cahaya
sumita
Perempuan
seringkali menjadi bahan pembicaraan yang menarik, sekaligus pembicara yang
aktif. Dan kali ini, saya akan menggabungkan keduanya: Berbicara tentang
perempuan sebagai seorang perempuan. Bukan sebagai wanita kosmopolis, gadis
konvensional yang lugu, ataupun seorang feminis. Saya tidak suka
istilah-istilah tersebut, karena di dalamnya telah terjadi reduksi nilai-nilai
secara besar-besaran yang akhirnya membuat mereka menjadi tidak berarti sama
sekali.
Lalu
apakah pengertian perempuan? Bagi saya, perempuan adalah manusia yang terlahir
dengan ciri-ciri fisik tertentu, yang berpengaruh pada perilaku gender-nya, dan
memiliki kekuatan tak terbatas dalam jiwanya. Saya tidak mengatakan bahwa
perempuan adalah pemilik gender feminin karena perempuan mempunyai wewenang
untuk menjadi seorang androgyny. Saya juga tidak mengatakan bahwa perempuan
adalah “lawan” atau “kebalikan” dari laki-laki karena kedua jenis kelamin
mempunyai hubungan komplementer. Dan mengapa saya menyinggung tentang kekuatan
jiwa? Tentunya bukan karena saya sedang belajar psikologi yang sarjananya dianggap sebagai pecundang
entah sejak kapan tapi karena saya telah
menyaksikan sendiri banyak perempuan yang mampu menaklukkan berbagai rintangan
dengan kekuatan jiwanya. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa perempuan
selalu mengalami banyak masalah menyangkut keberadaannya?
Seorang
perempuan yang cukup konvensional pernah berkata pada saya, “Perempuan itu
seperti uang kertas, sedangkan laki-laki adalah uang logam. Ia tidak boleh
sobek sedikitpun, karena tidak akan ada yang mau menerimanya bila ia tidak lagi
utuh.” Perkataan itu didapatkannya secara turun menurun dari nenek dan ibunya.
Sebuah wejangan khas tentang sakralnya kesucian tubuh seorang perempuan. Hal
tersebut merupakan suatu masalah unik yang dihadapi perempuan Indonesia dari
zaman ke zaman. Sebagai “penganut nilai-nilai Timur”, anak-anak gadis akan
mendapat ceramah dari ibunya mengenai keperawanan di masa akil baliq. Dan
sebagai calon istri, ditanamkan pula soal bagaimana harus menghormati suami
dalam aturan-aturan yang “seharusnya”. Perempuan bahkan seringkali dikenakan
kewajiban tentang bagaimana berperilaku “sesuai kodratnya”; melahirkan,
bertanggung jawab atas anak-anaknya, dan mengurus rumah tangga. Fenomena
seperti ini memang bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sebagai bangsa
dengan budaya-budaya yang unik, perempuan Indonesia memiliki ceritanya sendiri.
Budaya
feodalisme telah menjadikan perempuan sebagai obyek belaka. Banyak kewajiban dan
sedikit hak. Selama berabad-abad, sebagian besar perempuan Indonesia – terutama
mereka yang terikat pada budaya Jawa – telah kehilangan hak bicara di depan
laki-laki. Walaupun perempuan Jawa zaman sekarang sudah tidak dilarang
mengenyam pendidikan, di dalam kedudukan sosial, mereka tetap dinomorduakan.
Apabila kita memperhatikan kesenian-kesenian daerah, terutama seni tari, di
Indonesia, tentu “peran” perempuan sebagai obyek seks akan jelas terlihat.
Sebagai contoh, tari Cokek dalam kebudayaan Betawi dan tari Jaipongan dalam
kebudayaan Sunda. Keduanya secara gamblang “menjual” keindahan dan daya
rangsang tubuh perempuan. Contoh tersebut tentu bukanlah suatu kebetulan dalam
sebuah kebudayaan. Kebudayaan mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakatnya. Sebagai perbandingan, perhatikanlah tarian balet yang merupakan
kebudayaan Rusia. Dengan memakai kostum yang memperlihatkan sebagian besar
bagian tubuh, tidak ditemukan kesan “menjual” perempuan. Juga pada tarian
kontemporer yang berkembang di negara-negara Barat, gerakan-gerakan yang
libidinal tidak menjadikan perempuan yang menari sebagai simbol seks semata.
Mungkin Putri Malam yang sedang tenar dengan goyangannya di layar kaca setiap
Sabtu malam juga merupakan manifestasi dari cara budaya memperlakukan
perempuan.
Kemudian
bagaimana dengan agama? Sebagai salah satu pegangan norma yang masih kental di
masyarakat Indonesia, tentunya agama sangat berpengaruh terhadap kedudukan
perempuan. Menurut Anne Marie Schimmel (1), dalam Islam, sebagaimana juga dalam
setiap agama, unity, yang kemudian mewujud dalam dualitas, dan selanjutnya
pluralitas, adalah prinsip sentral. Karena itu, bagaimana mungkin sisi feminin
dan maskulin, lelaki dan perempuan, dalam kehidupan tidak dilihat sebagai sama
pentingnya? Namun Schimmel juga menuliskan bahwa golongan feminisme telah
kehilangan kepercayaannya pada agama, yang terbukti dalam sejarahnya, cenderung
mensubordinasikan dan menindas perempuan. Padahal, sejarah juga menunjukkan
bahwa perempuan selalu menjadi sahabat terbaik bagi agama, tetapi agama,
terutama dalam prakteknya, justru sangat tidak bersahabat terhadap perempuan.
Berbicara
soal agama rasanya memang tidak adil apabila mengidentikkannya dengan
ajaran-ajaran agama itu sendiri. Karena apa yang diterima masyarakat, terutama
perempuan, adalah apa yang terjadi dalam penerapannya, dan bukannya apa yang
menjadi kondisi ideal seperti yang dituliskan dalam kitab-kitab suci. Saya
pikir tidak perlu lagi alasan klise seperti, “Yang salah manusianya, manusia
tidak mengerti apa inti dari agama” atau hal-hal serupa. Lebih baik kita
bersikap realistis dalam menghadapi persoalan perempuan dalam agama. Dalam
realitas kehidupan beragama, perempuan tetap menjadi subordinat dari laki-laki.
Agama tertentu membolehkan poligami sehingga pada kenyataannya telah
“melegalkan” perempuan, lagi-lagi, sebagai obyek seks. Umat beragama yang
percaya pada penciptaan Adam dan Hawa, cenderung menyalahkan Hawa sehingga
mereka berdua terlempar ke bumi. Mengapa harus Hawa yang “dikabarkan” menggoda
Adam untuk memakan buah terlarang?
Membahas
hal-hal seperti budaya, adat dan agama, yang bagi banyak orang merupakan hal
absolut, adalah suatu upaya penting dalam menarik akar dari persoalan mengenai
perempuan. Melihat dari kenyataan yang ada, perempuan hampir tidak pernah
dipandang sebagai subyek; sebagai manusia yang utuh. Perempuan dalam tubuhnya
adalah obyek yang tercipta untuk dinikmati dan melakukan serangkaian kewajiban.
Adanya nilai-nilai sakral tentang kesucian tubuh sebelum menikah telah
mereduksi perempuan menjadi hanya tinggal tubuh dengan permatanya berupa
selaput dara. Tidak ada penekanan pada alasan logis seperti masalah konsekuensi
perbuatan dan keberanian bertanggung jawab, yang ada hanya “kesucian”. Adanya
hukum perzinahan yang akhirnya membatasi persetubuhan dengan “surat nikah”
telah menjadikan pandangan yang sangat menyedihkan di dalam masyarakat tentang
arti sebuah perkawinan. Perempuan-perempuan yang dididik seperti ini tentu
tidak akan mengerti tentang spiritualitas seks yang melebihi arti tubuh itu
sendiri. Bukankah tubuh menjadi berarti ketika ia menjadi media bagi
spiritualitas? Tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dan sebagian
besar perempuan Indonesia masih berpendapat demikian, juga dalam dunia modern
yang marak dengan gerakan feminisme.
Seperti
yang telah saya sebutkan di atas, saya tidak suka menggunakan istilah
feminisme. Gerakan ini seringkali dipicu oleh dendam yang membara pada
laki-laki sebagai pihak yang dianggap menindas perempuan. Pada akhirnya ada
suatu penilaian yang sama sekali salah tentang persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan; tentang anak dan keluarga, karier, serta peran perempuan di
dunia sosial.
Kapitalisme
di Amerika telah melahirkan konsep “wanita kosmopolis” yang
mengeksploitasi “potensi” perempuan. Wanita kosmopolitan harus menyenangkan dan
tidak gentar terhadap apapun. Majalah-majalah wanita kosmopolitan menyuguhkan
bagaimana cara berpakaian yang tepat dan sedang in, bagaimana mengunakan sex
appeal di kantor sebagai anak tangga menuju karier yang sukses, bagaimana cara
membuat perempuan menjadi bintang pesta, berkepribadian, percaya diri, dan
tentu saja, hebat di tempat tidur. Wanita kosmopolitan tidak memasak dan
mengurus popok bayi, wanita kosmopolitan tidak takut lajang [siapa butuh lelaki?],
dan wanita kosmopolitan harus mampu bertahan seorang diri dalam dunia global.
Bagi saya ini salah satu bias dari feminisme yang kita kenal dewasa ini.
Bukankah ini hanya mengasah sedikit bagian otak ini dan otak itu tanpa
memperhitungkan kekuatan jiwa yang sebenarnya? Bukankah ini juga merupakan
salah satu manifestasi dari dipandangnya perempuan sebagai obyek? Bukankah
wanita-wanita kosmopolitan ini juga memisahkan pengertian antara tubuh dan
jiwa? Lalu apa bedanya dengan para perempuan konvensional? Bukankah mereka
sama-sama terikat walaupun dalam topeng yang berlainan?
Bisa
dikatakan saat ini ada dikotomi yang terlihat. Untuk lebih jelasnya, saya akan
menyajikan sebuah contoh, yaitu ada perawan sholeh yang mati-matian menjaga
auratnya dari pandangan laki-laki, dan ada pula cewek-cewek modis yang pergi ke
Plasa Senayan hanya untuk mejeng dan ngerumpi di sekeliling lingkaran di dekat
lift. Tapi saya dapat menarik persamaan dari keduanya: Sama-sama bodoh.
Sama-sama hidup tanpa sebuah makna yang berharga.
Mungkin
saya akan menggunakan istilah post-feminisme. Pada masa ini, sudah bukan
saatnya kita hanya menggali-gali “hutang” lelaki pada perempuan yang telah
terjadi selama berabad-abad. Cobalah berpikir, apa yang akan terjadi pada
perempuan Indonesia beberapa tahun ke depan? Di satu sisi, perempuan masih
terikat pada norma-norma yang mengikutsertakan kodrat sebagai patokan.
Sedangkan di sisi lain, perempuan Indonesia mulai tergiur oleh konsep
kosmopolitan yang mengutamakan kebebasan. Menurut pendapat saya, sebagian besar
perempuan Indonesia patut dikasihani. Terutama berkaitan dengan konsep diri
(2). Karena begitu banyak nilai-nilai yang harus dipegang, maka mereka
kehilangan diri mereka sendiri. Mereka tidak berani memaknai hidup mereka
dengan nilai-nilai sendiri yang telah diolah dengan matang. Mereka hanya
mengadopsi nilai-nilai “dikenakan” pada diri mereka oleh masyarakat. Dan
akhirnya yang ada hanyalah konsep nilai umum, bukan konsep diri. Hal ini
cenderung “menyamaratakan” identitas perempuan Indonesia yang dapat dibilang
naif.
Terbiasa
dengan suapan-suapan nilai sejak kecil menjadikan mereka terpenjara. Dan
apabila hal itu telah terakumulasi, rasa ingin bebas akan sangat menggebu-gebu.
Tetapi karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan ataupun
mengolah nilai, maka mereka akan merasa memperoleh kebebasan ketika mengambil
nilai-nilai yang bertentangan dengan yang mereka kenal. Misalnya, perempuan
yang sangat patuh pada adat dan agama bisa jadi berubah menjadi wanita modern
dengan nilai-nilai Barat. Baginya, itu merupakan suatu kebebasan, padahal ia
hanya pindah penjara. Atau karena terbiasa dengan dominasi laki-laki di
keluarga dan lingkungannya, ketika dewasa seorang perempuan tidak mau menikah
dengan alasan tidak mau tunduk pada laki-laki. Padahal, bila saja ia menyadari,
dengan hubungan yang matang, laki-laki dan perempuan bisa saling membangun dan
mengasihi dalam menciptakan hidup yang lebih baik.
Post-feminisme,
dimana laki-laki dan perempuan bisa menyadari dan mengatur sendiri perannya
dengan nilai-nilai yang mereka ciptakan sendiri, atau dengan sekedar mengolah
dengan baik filosofi dari nilai-nilai yang sudah ada, harus melibatkan berbagai
pihak. Budaya maupun agama tidak boleh mengekang perempuan untuk mandiri secara
nilai. Perempuan harus belajar untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab
atas pilihannya tersebut. Perempuan harus mengenal konsekuensi dan resiko,
bukan hanya hasil akhir. Apabila perempuan bisa mencapai keadaan seperti itu,
tentu hal-hal yang meresahkan bagi mereka seperti kekerasan, pelecehan dan
penindasan bukan lagi hal yang sulit diatasi. Tentu kolom konsultasi psikologi
tidak akan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan menggemaskan seperti yang sering kita
jumpai; tentang bagaimana mengatasi suami yang cuek atau kasar, mengatasi
mertua, atau pihak ketiga.
LSM
yang menangani masalah perempuan ataupun para feminis hendaknya tidak hanya
berpikir tentang bagaimana cara mengalahkan laki-laki, tapi bangun dulu secara
perlahan-lahan kepercayaan seorang perempuan akan kekuatan yang dimiliki
jiwanya. Apabila selama beribu-ribu tahun perempuan bisa bertahan dalam
ketidakadilan, mengapa kita tidak bisa melangkah pada keadaan yang lebih baik?
Perempuan Indonesia masih memiliki kecenderungan terbuai di dalam “nomor dua”,
sehingga kekuatan yang selalu digunakan dalam menghadapi masalah kemudian malah
berakhir dengan keluhan-keluhan, yang kemudian diturunkan pada anak cucu. Dan
akhirnya menimbulkan dendam. Hal ini terus berputar membentuk suatu lingkaran.
Alangkah baiknya bila kekuatan yang dimiliki perempuan digunakan untuk berusaha
keluar dari lingkaran itu. Tidak ada ruginya berpikir lebih jauh untuk jangka
panjang.
Teman
dekat saya, seorang laki-laki, berpendapat bahwa selama ini sejarah telah
membuktikan bahwa laki-laki bisa “menang” dan mendapatkan hegemoni atas
perempuan dalam kehidupan sosial adalah karena kemampuan public relations-nya.
Mereka mampu “menjual” nilai tentang “perempuan idaman”, di antaranya yang
masih utuh dengan selaput dara, dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk suaminya.
Saya pikir hal ini merupakan base yang baik untuk mencari jalan keluar bagi
ketidakadilan yang sering dirasakan perempuan; apabila para perempuan bisa
mandiri dalam berpikir, tentu tidak akan sulit untuk menghapuskan nilai-nilai
patriarki yang sewenang-wenang.
Misalnya,
mengingat bahwa hidup yang lengkap menurut saya harus mencakup sisi fisik,
mental, emosional dan spiritual, maka perempuan juga harus berusaha untuk
mengembangkan keempat dimensi tersebut. Kecenderungan yang terjadi pada perempuan,
yang mungkin juga disebabkan oleh kelihaian laki-laki dalam menjual nilai,
adalah pengembangan yang berpusat hanya pada sisi fisik dan emosional.
Sedangkan sisi mental dan spiritual sendiri terabaikan. Padahal tidak mustahil
bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya sehingga “kecerdasan”
tidak lagi menjadi hal aneh yang seakan-akan terpisahkan dari fisik yang
aduhai. Kemudian dari sisi spiritualitas, alangkah baiknya bila perempuan juga
mampu menemukan dan mengasah “ke-iman-an” yang bukan termanifestasi dalam
dogma-dogma yang telah berakar dan kemudian ditelan mentah-mentah.
Dengan
demikian, kekuatan jiwa yang dimiliki perempuan, tidak lagi merupakan sebuah
potensi belaka. Tetapi hal tersebut dapat disadari dan dikembangkan secara
nyata untuk memperoleh hidup yang bermakna. Dan kemudian, mungkin giliran
laki-laki yang mengasah kekuatan jiwa. Dengan bantuan perempuan, tentunya.
Dalam
bentuk sederhana, kita dapat mengatakan bahwa, secara psikologis, “kekuatan”
perempuan bisa digali dan dimanfaatkan untuk menyeimbangkan kelabilan emosional
dan “pendewaan tubuh” yang seringkali menyertai mereka. Perempuan juga bisa
melindungi, bahkan melindungi laki-laki. Perempuan bisa berpikir rasional
sekaligus menyertakan keindahan di dalamnya. Alam melahirkan perempuan dan
laki-laki untuk saling melengkapi. Dan keduanya memiliki keunggulan dan
kelemahan. Sekarang tinggal bagaimana cara memiliki kemampuan untuk
mengaturnya; secara holistik.
Hari
Kartini yang biasanya dijadikan momentum untuk menyoroti perempuan mungkin
sudah lewat. Tetapi saya rasa tidak ada kata terlambat untuk berkata, “Selamat
Berjuang Untuk Menjadi Manusia yang Utuh.” Sekian bulan yang lalu,
Intan
Suwandi
1. Seperti yang dikutip Wardah Hafidz dalam essay Feminisme Sebagai
Problematika Milenium Ketiga dan Sikap
Agama-Agama.
2 Menurut Rosenberg (1979), konsep diri adalah semua pikiran dan
perasaan yang memiliki referensi terhadap diri (self) sebagai obyek.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul pada diri seseorang berkaitan dengan konsep
diri menurut Wrightsman (1993) antara lain: Bagaimana kita berpikir mengenai
diri kita? Image seperti apa yang kita miliki tentang diri kita? Bakat-bakat
apa yang kita miliki? Apakah titik lemah kita?